Sarat Nilai, Ini Pelajaran dari Novel Hati Suhita

1 komentar

Hati Suhita, novel yang belakangan menjadi best seller sejak kemunculannya ditahun 2019. Berawal dari media sosial, Khilma Anis menjelmakan karyanya menjadi sebuah novel mengetuk hati perempuan. Berlatar pesantren dipadukan dengan budaya jawa, novel ini menyuguhkan cita rasa khas dihati pembaca.

Saya sendiri tertarik dengan novel ini sejak awal diperbincangkan. Ada beberapa hal yang membuat ketertarikan itu muncul. Diantaranya background penulis yang berasal dari pesantren di Tambak Beras Jombang Jawa Timur. Sejauh yang saya tahu, pesantren – pesantren di Tambak Beras menjadi favorit beberapa kalangan untuk memondokkan anak perempaun disana. Makanya ketika tahu bahwa novel Hati Suhita itu karya salah seorang santrinya, timbul rasa penasaran.

Mencicip satu paragraf sinopsisnya di google, nuansa pesantren kejawen kental terasa. Saya pribadi merasakan sensasi nagih. Khilma Anis memang bukan penulis kemarin sore. Pengalaman nyantri dan kiprahnya didunia literasi sejak zaman kuliah serta beberapa karya sebelumnya mengasah kemampuan menyuguhkan frasa secara tajam nan berbobot. 

Baca  : Enam Pondasi Bagi Penulis Pemula Versi RAI, Nomor 4 Paling Sulit?

Literasi santri memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak penulis berlatar santri membuktikan kiprahnya melalui karya – karya apik dihati pembaca secara nasional. Sebut saja Habiburrahman Elsirazi, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Hanum Salsabila Rais, dan Khilma Anis menambah deret panjang penulis dengan karya khas santri. Menyusul penulis – penulis diatas, novel Hati Suhita kabarnya akan dibesut dalam film. Benar atau tidak, kita tunggu saja.

Hati Suhita disana tergambar bagaimana Khilma Anis menyuguhkan tiap babnya dengan sisipan sejarah jawa, kyai dan ulama’. Pengetahuan sastra dan budaya jawa dari seorang istri dan ibu yang juga menjabat kepala sekolah madrasah aliyah swasta itu tergambar begitu kental dalam bait – bait yang ditulisnya. Kepribadian Khilma sendiri, saat saya telisik dari sosial media miliknya, merupakan sosok yang dekat dengan dunia pesantren jawa. 

Santri jawa, peremuan jawa, memang memiliki daya tarik dan kepribadian kuat menjelma dalam soso Alina Suhita. Alina Suhita, seorang santri, manut, sabar dalam tuntutan dan aturan pilihan orangtua dan guru, mengetuk hati anak. Keteguhan hati, qonitat, sabar dalam kesedihan, sabar dalam prisip, sabar menunggu Gus Birru sang suami, dengan caranya sendiri, Suhita mengetuk hati perempuan dan seorang istri. Diatas itu semua, Suhita mampu membangun kiprah, mengambil posisi penting dalam tubuh al – Anwar. Bagaimana tidak menawan perempuan seperti dia. 

Novel ini menjadi sarat nilai, sarat pelajaran akhlak yang bisa diambil ibrah untuk kehidupan seorang anak, murid, perempuan, istri, juga kehidupan berumahtangga. Maka inilah pelajaran berharga yang bisa diambil dari novel Hati Suhita.

1. Ta’at

Pelajaran ketaaan ini bisa kita lihat saat Suhita sejak duduk dibangku Tsanawiyah atau SMP yang telah dijodohkan dengan lelaki pilihan kedua orantuanya, Gus Birru. Sikap yang sama juga dimiliki Gus Birru manakala ia menerima perjodohan dengan Suhita. 

Suhita juga manut dan nurut saat dipindah pesantrenkan oleh Umik, guru sekaligus calon mertua agar hafalan Qur’annya lebih lanyah.

2. Birrul Waalidain

Birrul Waalidain, amat terasa dalam seluruh bab oleh semua tokoh dalam novel ini. Utamanya Suhita, ia telaten merawat Umik dan Abah, selalu menyiapkan obat – obatan Umik, membuatkan makanan. Tiada satu katapun keluar dari mulutnya melainkan perkataan yang baik.

3. Sabar

Disini kesabaran menjadi hal yang amat sangat kuat dari karakter Suhita. Sabar menuntut ilmu sejak duduk sibangku pesantren, sabar menjalankan ketaatan, sabar menerima perlakuan dari Gus Birru, sabar menunggu do’anya terkabul bahwa suatu saat suaminya akan luluh, bersikap hangat, secara utuh menjalankan perannya sebagai seorang suami.

4. Teguh Pendirian

Suhita, meski diterpa badai dalam rumahtangganya, meski ribuan kali hatinya ingin mengadu, namun saat datang sosok Kang Dharma menawarkan diri menjadi tempat peraduan kapanpun Suhita mau, dengan tegas Suhita membuang nomor handphone pemberian Kang Dharma dengan segala prinsip yang ia pegang.

5. Amanah

Diri Suhita ibarat ladang, ia mampu menumbuhkan tanaman kebahagiaan dalam keluarga Gus Birru suaminya. Menumbuhkan tanaman kemakmuran bagi pesantren al – Anwar. Menjaga amanah Umik dan Abah untuk mengembangkan pesantren, juga menjaga amanah Umik dan Bapaknya sendiri Kyai Jabbar atas rumahtangga yang dibina bersama Gus Birru. Meski saat air cinta Gus Birru tidak mengalir padanya, ladang itu tetap menjalankan tanggungjawabnya dengan penuh khidmat.

6. Hormat dan Santun

Gus Birru yang dingin kepada Suhita sejak saat menikah hingga tujuh bulan usia rumahtangga mereka, namun Suhita tetap menyiapkan keperluan, tak pernah sekalipun membantah, bahkan saat Gus Birru berkata kasar, semua ia balasa dengan rasa hormat dan sikap santun. Ini terlihat saat Suhita tak pernah luput mencium tangan Gus Birru sebagai wujud hormat.

7. Tawakkal

Suhita telah berupaya keras mempertahankan rumahtangganya meski tak kunjung menuai bahagia pada awalnya. Saat usahanya telah maksimal dan Gus Birru belum bisa menerimanya, bahkan masih mengharap Rengganis, Suhita tak putus berdo’a, menyerahkan semua pada Allah Ta’ala lewat ngaji, deresan Qur’an, dan sikap tak menyerah.

Baca : Review Buku Sayatan Maut

8. Terus Belajar

Suhita telah lama memendam rasa ingin tabarrukan di pesantren – pesantren besar. Puncaknya saat dirinya mencoba bersikap pasrah, menenangkan diri di rumah Kakung di Salatiga. Meski sudah mengelola pesantren ribuan santri, ia tetap ingin belajar dan mengasah keterampilan hafalan Qur’’annya.

9. Terus Berjuang

Sikap ini ditunjukkan Suhita bukan hanya dalam kehidupan pribadinya, tetapi juga dalam kiprahnya untuk pesantren al – Anwar. Ia terus berinovasi, rembugan dengan para guru dan pengurus pesantren untuk pesantren lebih maju. Umik juga mengungkapkan, bahwa beliau ingin dari santri yatim dhuafa yang dititipkan Kang Dharma, pesantrennya menuai berkah.

Sedangkan Gus Birru, ia berusaha keras membuang Rengganis dari kehidupannya, mencoba menerima perjodohan. Ia juga aktifis yang menyuarakan nurani rakyat lewat pergerakan. Membangun cafe dengan taman bacaan, membudayakan kegiatan – kegiatan ala pesantren untuk karyawanya. Juga melalui literasi, ia memediasi santri dengan literasi lewat kegiatan – kegiatan bermanfaat bersama tim yang dibangun.

10. Janji Allah itu Pasti

Sekian purnama lewat deresan Qur’an, munajat dan do’a, nyatanya Allah tak pernah mengabaikan Suhita. Tiba saat yang dinanti, Gus Birru luluh dengan indah, menyerahkan seluruh jiwa raga untuk Suhita seorang, pangabsah wangsanya.

11. Legowo

Saat kedekatan dengan sang suami mulai terbangun, ia merasai sang suami mulai bisa bersikap hangat, Suhita dikejutkan dengan foto Gus Birru bersama Rengganis dalam satu frame di Bandung. Belum sempat ia membasuh luka itu, Rengganis telah berada di istananya, duduk berbincang dengan akrabnya bersama Umik, Abah, juga Gus Birru. Seakan Rengganis ingin mengambil posisinya di rumah itu. 

Sampai pada puncaknya, Suhita bak menjangan ketawan lari sejauh – jauhnya. Ia mencari ketenangannya sendiri, berziarah ke makan para alim, mendengarkan hati nurani. Toh kalau ia harus menyerah dititik ini, Gus Birru menginginkan Rengganis disisinya, Suhita telah siap, ia akan legowo.

wawa rafsanjani
Hallo, shobat pembaca. Welcome to my personal blog. Saya adalah ibu dua orang putri. Kegiatan saya sehari - hari menemani aktivitas, menjadi teman main, dan bertumbuh bersama mereka. Saya happy dan bersyukur punya mereka. Sesekali saya juga mengisi sebuah kelas di salahsatu sekolah swasta. Berjualan online, jalan - jalan tipis, kulineran, nulis, ngonten, dan masih banyak lagi. Semoga blog ini bisa nambah satu lagi referensi yang menyenangkan dan bermanfaat. Yuk, collabs with me! �� Sri.rafsanjani90@gmail.com

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar